“Hei kamu apa kabar?”
Hari ini genap 7 tahun sejak aku pergi meninggalkan kota
ini. Lama sekali bukan? Dan hari ini aku kembali ke kota ini. Bukan karena
sengaja, tentu saja. Tapi karena tuntutan pekerjaan. Sudah berulang kali aku menolak
ajakan orang besar yang punya banyak gelar itu untuk datang ke kota ini
menemuinya, dan akhirnya aku menyerah. Aku datang ke kota ini.
Dulu aku sangat menyukai kota ini. Bahkan sampai saat ini
pun masih. Karena bagaimana pun di kota ini aku menjalani berbagai hal
pertamaku. Pertama kalinya menghirup udara di dunia ini, pertama kalinya
mendengar kicauan burung, pertama kalinya melihat bintang bintang, pertama
kalinya jatuh cinta, dan pertama kalinya patah hati.
Ah... seharusnya aku tidak melankolis begini, karena sejak
kecil aku dididik untuk jadi anak yang kuat. Jadi lupakan sajalah segala cerita
masa laluku dengan kota ini, toh itu semua cuma hanya akan membuka luka lama.
Aku baru sampai di kota ini sekitar tiga setengah jam yang
lalu, lalu buru-buru menemui orang besar yang punya banyak gelar itu. Selesai
bertemu dan basa basi dengannya aku pamit dan memesan tiket pesawat paling
cepat yang bisa mengantarku keluar dari kota ini. Sayangnya, penerbangan
tercepatnya masih dua jam lagi. Akhirnya aku menyerah. Setelah bertengkar
dengan hatiku sendiri. Aku memberikan kesempatan kakiku untuk memilih jalan
yang ia mau.
Sungguh, aku sama sekali tidak menggunakan otak cemerlangku
untuk berfikir, hanya kakiku saja yang tiba-tiba bergerak menuju kesini.
Huft, aku tahu tempat ini. Bagaimana tidak? Ini tempat
favoritku dulu. Bahkan sekarang aku masih ingat semuanya. Warna warni bunga
mawar yang ditanam di sepanjang jalan, aroma pastry lezat yang dijajakan di toko
toko bergaya eropa, aroma segelas kopi pahit murahan yaang dulu selalu kubeli,
teriakan histeris gadis gadis remaja karena tumpukan baju diskon, dan sepasang
kucing kembar yang berlarian di depan toko ice cream itu. Semuanya terekam
jelas di otakku, bagaimana mungkin aku lupa? Terutama pada taman tua itu. Disanalah
kakiku menuju. Kamu juga masih ingat bukan pada taman ini? Kita dulu sering
berkunjung kesini.
Hei, apa kau dengar? Entah bagaimana aku tiba tiba mendengar
alunan gitar kesayanganmu. Kubiarkan kakiku mencari asal suara itu. Oh, rupanya
aku salah, suara itu berasal dari gitar yang sedang dimainkan seorang laki laki
di kursi taman. Dia mirip sekali denganmu. Dulu kau juga suka bermain gitar di
taman itu bukan? hanya saja dulu saat kau bermain gitar ada aku disampingmu. Lucu
sekali bukan? Dulu kau bilang kau bernyanyi hanya untukku. Jujur, aku tak tahu
harus percaya atau tidak.
Ketika aku tinggal berjarak tiga langkah dari laki laki itu
tiba tiba kakiku berhenti. Membeku. Pandanganku tiba tiba mengabur. Dunia seakan hilang begitu saja. Kosong. Aku tak
merasakan apa pun. Semuanya membeku.
“Apa Kabar?”
Suara itu seolah olah menarikku kembali ke dunia ini. Kulihat
seorang lelaki tinggi berkulit putih menatapku dengan mata sipitnya. Tersenyum menampakkan
lesung pipinya.
“Kok diem? Kamu nggak kangen sama aku?”
Deg... satu pukulan di hatiku.
Ya, aku kangen banget sama kamu
“Kelihatannya sih nggak, padahal aku kangen banget sama kamu”
Deg... satu pukulan lagi di hatiku.
Aku tahu itu, aku selalu tahu
“Kamu tahu? Dulu aku pernah janji pada seseorang untuk nggak
akan nikahin perempuan lain selain dia, dan lihat, aku nepatin janjiku ke dia
sampai hari ini”
Deg... pukulan telak... K.O.
Kenapa kamu ngomong gitu di hadapanku sekarang?
Dia sama sekali tidak memperdulikanku yang sibuk menata
hatiku yang baru saja diporak porandakannya. Dia masih berdiri disana sambil
memamerkan jarinya yang polos tanpa cincin apapun. Dan dia masih tersenyum.
“Kamu mau tahu siapa perempuan itu?”
Aku sudah tahu siapa dia, jadi berhentilah
membicarakannya
“Namanya Aisyah”
Oh Tuhan, aku sangat merindukannya, merindukan alunan gitar
darinya, merindukan suaranya, merindukan senyumnya untukku, merindukan caranya menyebut
namaku. Dosakah aku? Maafkan aku Tuhan. Aku tak pernah menginginkan semua
perasaan ini.
Detik detik ini merupakan detik terlama yang kulalui dalam
hidupku. Mengapa dia masih berdiri disana? Sementara aku berusaha mati matian
mempertahankan benteng yang selama 7 tahun ini susah payah kubangun.
Handphoneku bergetar. Kupaksa tanganku mengambil handphone
itu. Ada pesan masuk. Tiba tiba aku merasa dilempar kembali ke kenyataan. Pesan
itu telah menyadarkanku.
Umi, kalau sudah selesai jalan jalan, abi jemput ya, kita siap siap ke bandara.
Kukumpulkan semua tenagaku yang tersisa. Kubereskan hatiku
yang tadi berceceran. Dan tanpa menatap matanya kuucapkan dengan jelas.
“Assalamualaikum, Roy”
Aku melangkahkan kakiku menjauhinya. Saat ini aku benar
benar berjanji pada diriku sendiri. Tak akan pernah kembali ke kota ini lagi.
Tak akan pernah. Tak akan pernah. Tak. Akan. Pernah.