Dari dulu aku selalu menyukai hujan. Karena hujan selalu membuat orang orang menghentikan aktifitasnya sehingga kesunyian akan mendekapku hingga aku terlena. Juga aroma hujan, yang jauh lebih menenangkan dibanding aroma segelas cappucino hangat di pagi hari. Lebih dari semua itu, aku menyukai hujan karena tiap tetes air yang jatuh di tubuhku selalu menghanyutkan tiap luka yang kumiliki. Meskipun ketika hujan berhenti, luka itu kembali dengan rasa sakit yang teramat sangat. Dan satu rahasia kecilku tentang hujan, dialah satu satunya teman baikku di dunia ini.
Hujan telah menjadi saksi kepingan kepingan hidupku. Hujan di bulan Desember itu menjadi saksi janji janji kehidupan baru yang disuguhkannya padaku. Janji janji yang semanis gula gula favoritku di toko ujung jalan.Janji janji itu kudapatkan terus menerus, sama seperti hujan yang selalu kudapati membasahi bumi terus menerus di bulan berikutnya. Tapi aku lupa bahwa hujan tak akan terus membasahi bumi, ia akan segera digantikan tiupan angin dan sengatan matahari. Aku juga lupa bahwa gula gula favoritku selalu menyisakan rasa pahit di ujung lidah ketika aku menelannya.
Aku memang pelupa, aku memang ceroboh. Seharusnya aku tak terbujuk. Tapi semua sudah terjadi, apa boleh buat. Sekarang aku hanya bisa berdiri disini , dibawah hujan di bulan Desember. Tanganku yang pucat memegang tiang penyangganya, sementara kaki telanjangku merasakan dinginnya beton besi.
Mungkin sekarang sudah waktunya, pasti aliran air dibawahku sudah sedingin es di kutub utara. Sekarang aku bisa melepas semuanya. Terimakasih hujan telah menjadi saksi kepingan hidupku yang terakhir. Sebagai hadiah kuberikan kau ini.
Sajak untuk Kawan Baikku, Hujan.
Hujan telah menjadi saksi kepingan kepingan hidupku. Hujan di bulan Desember itu menjadi saksi janji janji kehidupan baru yang disuguhkannya padaku. Janji janji yang semanis gula gula favoritku di toko ujung jalan.Janji janji itu kudapatkan terus menerus, sama seperti hujan yang selalu kudapati membasahi bumi terus menerus di bulan berikutnya. Tapi aku lupa bahwa hujan tak akan terus membasahi bumi, ia akan segera digantikan tiupan angin dan sengatan matahari. Aku juga lupa bahwa gula gula favoritku selalu menyisakan rasa pahit di ujung lidah ketika aku menelannya.
Aku memang pelupa, aku memang ceroboh. Seharusnya aku tak terbujuk. Tapi semua sudah terjadi, apa boleh buat. Sekarang aku hanya bisa berdiri disini , dibawah hujan di bulan Desember. Tanganku yang pucat memegang tiang penyangganya, sementara kaki telanjangku merasakan dinginnya beton besi.
Mungkin sekarang sudah waktunya, pasti aliran air dibawahku sudah sedingin es di kutub utara. Sekarang aku bisa melepas semuanya. Terimakasih hujan telah menjadi saksi kepingan hidupku yang terakhir. Sebagai hadiah kuberikan kau ini.
Sajak untuk Kawan Baikku, Hujan.